BLORA, (beritaku.net) – Anggota DPR RI, Edy Wuryanto menyoroti angka stunting di Kabupaten Blora.
Hal tersebut disampaikannya saat melakukan reses di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora.
Menurutnya, angka stunting di Blora dapat teratasi dengan ramuan kelor.
“Saya berharap juga misalnya beberapa kasus di dalam negeri stunting misalnya, itu kan karena kekurangan nutrisi, jadi itu bisa dipenuhi melalui produk-produk kelor ini,” ucap Edy Wuryanto saat ditemui di lokasi, Sabtu (4/9/2021).
Edy mengungkapkan, para ibu hamil sampai melahirkan dapat mengonsumsi produk kelor untuk mencegah terjadinya stunting pada buah hatinya.
“Apabila bisa diberikan pada ibu hamil sejak awal, maka akan mencegah terjadinya stunting,” katanya.
Edy menilai Blora menjadi daerah yang tingkat stuntingnya perlu dijadikan perhatian serius.
“Karena Blora termasuk yang stuntingnya tinggi di Jawa Tengah, kan ironis? Ada kelor, ada produk, ada macam-macam, kok rakyatnya mengalami stunting ini kan hanya persoalan pengetahuan, perilaku yang tidak tepat, nah ini kita putus dengan bagaimana Blora is kelor,” jelasnya.
Edy mengatakan di Blora terdapat pabrik pengolahan kelor bernama Moringa Organik Indonesia yang telah berhasil menembus pasar internasional.
“Moringa Organik Indonesia yang dikembangkan oleh Kang Dudi ini suatu inovasi yang sudah mampu menembus pasar global. Itu kita butuhkan saat seperti ini, produk-produk Indonesia yang bisa dikelola oleh standar organik Jerman misalnya, lalu bisa menembus pasar internasional itu akan mendongkrak ekonomi,” jelasnya.
Maka dari itu, politisi PDIP tersebut berharap banyak petani Blora yang mau menanam kelor dan memproduksinya menggunakan standar operasional prosedur internasional.
“Sehingga harapan saya banyak petani menanam daun kelor, dikelola dengan baik dengan mesin pengering seperti ini, tapi standar budidayanya harus organik, jangan sekali-kali pakai pupuk kimia karena itu akan merusak pasar kelor Indonesia,” ujarnya.
Stunting di Kabupaten Blora saat ini berada di angka 14 persen. Angka tersebut berada di bawah angka nasional, yakni sebesar 27 persen dan di bawah standar WHO sebesar 20 persen.